ASH-SHALAH
I.
PENDAHULUAN
Uraian tentang shalat baik dalam
tulisan maupun lisan, bisa jadi dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu
yang telah kadaluwarsa. Hal itu karena ibadah shalat merupakan sesuatu yang
telah jelas, dan semua umat Islam telah mengetahui hukumnya. Shalat seakan
menjadi pengetahuan yang agakanya bersifat aksioma.[1]
Shalat merupakan ibadah mahdhah yang
diwajibkan bagi seluruh umat islam baik laki-laki maupun perempuan sebagai
bukti penghambaan kepada sang Kholiq. Sebagai umat islam sejati perlulah
kiranya kita mempelajari, memahami, dan melaksanakan ibadah yang sangat urgen
ini. Namun, tidak sekedar melaksanakaan atau menunaikan, akan tetapi jauh dari
pada itu, kita harus dapat menegakkan shalat. Disini dalam artian shalat tidak
hanya seperti senam yoga yang sekedar mengandalkan gerakan-gerakan shalat,
namun sebagai perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Perintah shalat telah jelas secara
qoth’i dalam firman Allah surat Annur ayat 56. Namun perintah disitu masih bersifat
global dalam pelaksanaannya. Didalam nash kita tidak mendapati uraian tata cara
shalat secara detail. Sehingga kita mengambil dari sunah Rasulullah sebagai bayan
al-nash.
Sebagai orang awam bermadzhab adalah
sebuah kebutuhan bagi kita, karena untuk memahami teks-teks yang ada dibutuhkan
pemahaman ushul fiqih, fiqih, dan qawaidh fiqh secara komprehensif dan
mendalam. Dibutuhkan seorang mujtahid yang benar-benar dapat menguasai seluruh
bidang ilmu tersebut. Untuk itu untuk mempermudah kita dalam beribadah,
perlulah kita bertaqlid kepada para ulama madzhab. Akan tetapi, sebagai kaum
terpelajar hendaknya kita melek, tidak hanya bertaqlid buta, tetapi
bertaqlid dengan mengetahui dasar dan metode isthinbat yang digunakan para
mujtahid dalam menggali hukum.
Dalam kesempatan ini, penulis akan
memaparkan sedikit tentang fiqh ibadah terkhusus dalam tema shalat, rukun,
syarat dan kaifiyahnya dalam pandangan para ulama madzhab. Memang kita sadari,
dari sumber satu teks yang sama akan menghasilkan pemahaman yang berbeda,
secara otomatis produk hukumnya berbeda.
II.
RUMUSAN MASALAH
2.1 Apa syarat
dan rukun shalat?
2.2 Bagaimana
kayfiah shalat menurut para imam madzhab?
2.3 Apa
perbedaan yang terjadi dalam takbiratul ihram?
III.
PEMBAHASAN
3.1
Definisi
Shalat
Shalat menurut etimologi adalah doa, atau
doa meminta kebaikaan. Allah Swt berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
‘’ dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.’’ (QS. At-taubah:103).
Maksud dari kata as-shalah disini adalah
berdoa. Adapun menurut syara’ shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu
yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.[2] Sebagian
madzhab Hanafi mendefinisikan shalat sebagai rangkain rukun yang dikhususkan
dan dzikir yang ditetapkan dengan syarat-syarat tertentu dalam waktu yang telah
ditentukan. [3]
Sebagian ulama Hanbali memberikan ta’rif lain bahwa shalat adalah nama untuk
sebuah aktifitas yang terdiri dari rangkaian berdiri, ruku dan sujud.[4]
3.2 Hukum dan Dalil Sholat
Telah kita ketahui bersama bahwa
ibadah sholat merupakan kewajiban bagi seluruh umat Muslim, baik laki-laki
maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
‘’ Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah
kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.’’ (QS. An-nur:56)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
‘’ Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta
orang-orang yang rukuk.”(QS. Al-Baqarah:43)
وَأَنْ أَقِيمُوا الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِي إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ
‘’ Dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa
kepada-Nya." Dan Dialah Tuhan Yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.’’(QS.
Al-An’am:72)
Dari ayat-ayat diatas dapat
disimpulkan ibadah shalat adalah ibadah yang sangat urgen. Begitu pentingnya
posisi shalat dalam kehidupan manusia. Sehingga dalam satu riwayat Ishom bin
Rawwad dikatakan, “sholat hukumnya wajib. Semua amal perbuatan manusia akan
sia-sia kecuali prestasi shalat dan zakat terpenuhi.’’[5]
3.3
Syarat
Wajib dan Sah Shalat
3.3.1
Syarat
Wajib Shalat
1.
Islam
Menurut pendapat jumhur, sholat diwajibkan kepada setiap muslim
laki-laki dan perempuan, dalam hal ini orang kafir tidak wajib untuk menunaikan
sholat. Menurut imam Hanafi bahwasannya orang kafir tersebut tidak terkena
hukum-hukum Islam.[6]
Jadi, ketika orang kafir tersebut masuk Islam dia tidak diwajibkan untuk
menqada’sholat-sholat yang ditinggalkan selama dia masih kafir. Sebagaimana
firman Allah:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ
سَلَفَ
‘’ Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang
dosa-dosa mereka yang sudah lalu.’’(QS. Al-Anfal:38)
Dan juga berdasarkan
hadits Nabi:
الاسلا مُ يُجبُّ ما قَبلهُ
‘’ (Dengan memeluk) Islam, (hal
itu akan) menghapuskan apa (dosa-dosa) yang sebelumnya.(HR. Imam Ahmad.
Ath-Thabarani, al-Baihaqi).’’
2.
Berakal
Salah satu syarat wajibnya shalat adalah berakal. Maka, seorang
muslim yang gila tidak berkewajiban melaksanakan shalat, hal ini sesuai dengan
sabda Nabi: ‘’ hukum seseorang
ditiadakan karena tiga perkara, yaitu orang yang tidur sampai ia terbangun,
orang yang sedang gila sampai sembuhnya, dan anak kecil sampai dia dewasa
(baligh). (HR. Halim & Abu Dawud). ‘’
Ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya akal karena mengkonsumsi
obat-obatan.
Menurut imam Hanafi perlu ada perincian hilangnya akal karena
proses alamiah atau karena ulah mereka sendiri. Jika hilangnya karena proses
alamiah, misal gila atau pingsan maka dilihat waktunya. Jihal hal itu hanya
terjadi dalam waktu sehari semalam, maka dia wajib menqadla’ shalat yang
tertinggal karenanya, sebab dalam keadaan tersebut ia dihukumi tetap sadar.
Akan tetapi jika lebih dari sehari semalam maka tidak ada kewajiban untuk menqadla’,
karena hal itu tentu sangat menyulitkannya.
Kemudian apabila hilangnya akal karena ulah mukallaf sendiri,
misalnya minum khamar, sabu-sabu, obat-obatan dan sejenisnya, wajib baginya
mengqada’ shalat yang telah ditinggalkannya, sekalipun dalam jangka waktu yang
lama. Namun, jika pengkonsumsian sabu-sabu dengan alasan pengobatan/terapi,
maka gugurlah kewajiban qadla’shalat.
Senada dengan hukum tersebut, shalat yang tertinggal karena tidur
juga diwajibkan untuk menqadha’. Karena pada umumnya orang tidur tidak melebihi
sehari semalam, sehingga tidak terlalu memberatkan untuk menqadla’nya.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, bahwa hilangnya akal seseorang
baik disebabkan gila atau pingsan dan sejenisnya, menjadi gugurnya kewajiban.
Kecuali, udzur tersebut hilang dan masih ada waktu tersisa untuk bersuci serta
menunaikan satu rakaat shalat. Namun jika waktu tidak mencukupi, maka gugurlah
kewajiban tesebut.
Jika hilangnya akal disebabkan hal-hal maksiyat atau segala sesuatu
yang diharamkan syara’maka wajib secara mutlak menqadla’shalat yang telah
ditinggalkan. Lebih lanjut Imam Syafi’i orang yang lupa, tidur atau tidak tahu
akan wajibnya shalat, tidak ada kewajiban menunaikan shalat, namun wajib
mengqadla’ketika mengingatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
‘’Barang siapa lupa atau tertidur maka kafaratnya adalah
mengqadla’shalat ketika mereka mengingatnya.’’ (HR. Muslim).
Menurut madzhab Hanbali orang gila yang belum sadar tidak
berkewajiban menunaikan shalat. Sebagaimana sabda Rasul:
‘’Hukum taklif seseorang dihilangkan karena tiga perkara....”
Adapun, mereka yang hilang akalnya karena sakit, pingsan, reaksi
obat-obatan yang halal, tetap wajib baginya menunaikan shalat. Dengan
qiyas hal-hal tersebut tidak menjadi faktor gugatan kewajiban puasa. Karena
sahabat Ammar Ra pernah mengalami tiga hal tersebut. Dia bertanya, ‘’Apakah
dia wajib menunaikan shalat?’’, para sahabat menjawab, ‘’ Kamu telah
meninggalkan tiga shalat. Maka ambilah wudlu dan tunaikan tiga shalat yang kamu
tinggalkan itu.’’
3.
Baligh
Tidak ada perselisihan pendapat terkait dengan baligh sebagai
syarat wajib shalat. Jadi, shalat tidak wajib bagi anak kecil sampai dia
baligh. Akan tetapi orang tua wajib mengajarinya dan memerintahkan menunanikan
shalat ketika anak berusia tujuh tahun, dan berhak memukulnya ketika dia
meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun (HR. Abu Dawud). Memukul disini
menurut madzhab Hanafi cukup dengan tangan dan tidak boleh lebih dari tiga
kali.[7]
Menurut madzhab Maliki boleh memukul selain dengan tangan, misal tali dengan
jumlah bilangan disesuaikan dengan fisik dan mental anak.
3.3.2
Syarat
Sah Shalat
1.
Mengetahui
masuknya waktu sholat
Hal ini sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
‘’ Sesungguhnya salat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.’’(QS.
An-nisa: 103)
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
‘’Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).’’(QS. Al-Isra :78)
2.
Suci
dari hadats.
Suci dari dua hadats besar dan kecil, baik dengan wudlu atau mandi
merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا
‘’ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah.”(QS. Al-Maidah:6)
3.
Suci
dari najis
Suci dari najis mempunyai pengertian sucinya badan, pakaian, dan
tempat pelaksanaan prosesi shalat.[8]
Sebagaimana firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
‘’ dan pakaianmu bersihkanlah.’’ (QS. Al-mudatsir: 4)
4.
Menutup aurat
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
‘’Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid.’’ (QS. Al-A’raf:31)
Ayat tersebut memakai kata zinah yang berarti
perhiasan. Ibnu Abbas memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud perhiasan
diatas adalah pakaian. Kemudian maksud masjid disini adalah shalat. Maka, arti
bebas dari ayat tersebut adalah tutuplah aurat ketika hendak menunaikan shalat.
Menurut madzhab Hanafi batasan aurat laki-laki dan perempuan
adalah:
1.
Aurat
laki-laki: mulai dari pusar sampai dengan baawah lutut. Lutut seorang laki-laki
termasuk aurat.
2.
Aurat
perempuan: semua bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan kedua
telapak kaki. Tapi, pendapat yang shahih kedua telapak kaki termasuk aurat.
Terbukanya seperempat aurat menurut madzhab Hanafi akan membatalkan
shalat, karena seperempat bagian sama halnya membuka seluruh bagian. Jadi, jika
aurat terbuka kurang dari seperempat tidak membatalkan sholat.
Menurut
madzhab Maliki:
1.
Aurat
laki-laki: dua alat vital (qubul dan dubur) saja. Paha laki-laki tidak termasuk
aurat. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat hadits:
‘’
ketika perang khaibar, sarung Rasulullah tersingkap, sehingga saya bisa melihat
paha putihnya dengan jelas.’’ (HR. Bukhari).
2.
Aurat
perempuan: semua anggota tubuh kecuali dada, kepala, kedua telapak tangan dan
telapak kaki serta punggung.[9]
Madzhab
Syafi’i dan Hanbali:
1.
Aurat
laki-laki: aurat laki-laki ketika shalat dan thawaf serta keadaan laki-laki di
depan perempuan adalah antara pusar dan lutut. Namun menurut Imam Hanbali lutut
dan pusar merupakan batasan, jadi tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.
2.
Aurat
perempuan: seluruh wajah dan kedua telapak tangan baik bagian dalam atau
luarnya, mulai dari pergelangan sampai ujung jari-jarinya.
5.
Menghadap
kiblat.
Para
fuqaha sepakat untuk mengatakan menghadap kiblat adalah salah satu syarat
sahnya shalat.[10] Ini berdasarkan firman
Allah:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
‘’Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidilharam; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu
yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu
kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam.‘’
3.4
Rukun
dan Kaifiyah Shalat
1.
Niat
Ulama berbeda pendapat terkait niat
menjadi rukun dalam shalat. Menurut ulama syi’ah Imamiyah yaitu Sayyid
Muhammad, niat merupakan perbuatan pertama dalam shalat. Orang yang
mengucapakan kata niat bertujuan untuk melakukan perbuatan tertentu dalam
rangka mematuhi perintah Allah.[11]
Menurut madzhab
Maliki, Hanbali, dan Hanafi niat adalah salah satu syarat shalat. Sedangkan
menurut madzhab Syafi’i niat merupakan rukun dari shalat.[12]
Hemat penulis, ketiga madzhab yang mengatakan niat sebagai syarat, menurut
pemahaman kami hal tersebut tidak harus di lafadzkan ketika mengerjakan shalat,
cukup dengan batasan baligh dan berakal maka ia secara otomatis menyengaja
untuk shalat. Sedangkan ulama Syafií yang mengatakan niat sebagai rukun maka
niat harus diucapkan sekalipun dalam hati bersamaan takbiratul ihram.
2.
Takbiratul
Ihram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul
ihram. Nama takbiratul ihram berasal dari sabda Rasulullah: “Kunci
shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkan segala perbuatan, kecuali
perbuatan atau gerakan shalat adalah takbir.
Menurut madzhab Maliki dan Hanbali
shighat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar”dan tidak boleh
memakai kata-kata selainnya. Menurut Imam Syafi’i boleh mengganti “Allah
Akbar” dengan Allahu al Akbar
(ditambah dengan alif dan lam pada kata Akbar).
Sedangkan Imam Hanafi: boleh dengan kata-kata lain yang artinya sesuai atau
sama dengan sighat tersebut. Semisal, Allah al A’dzam dan Allahhu al
Ajall (Allah Yang Maha Agung, dan Allah Yang Maha Mulya). [13]
3.
Membaca
Basmalah dan surat Fatihah.
4.
Ruku’
Semua ulama madzhab sepakat bahwa
ruku’ termasuk rukun dalam shalat. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait
batasan yang diwajibkan dan berthuma’ninah didalamnya.
Pendapat Imam Hanafi, yang
diwajibkan hanya membungkukkan badan secara lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Menurut madzhab yang lain, wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang
yang shalat diletakkan pada lutut, dan diwajibkan thuma’ninah.
Imam Syafi’i, Hanafi, dan Maliki:
tidak wajib berdzikir ketika ruku’dalam shalat, hanya disunahkan mengucapkan:
سبحا
ن ربي العظيم
Menurut Imamiyah dan madzhab
Hanbali: membaca tasbih ketika ruku’hukumnya wajib. Lafadz ruku’menurut
Hanbali”:
سبحا
ن ربي العظيم
Sedangkan menurut Imamiyah:
سبحا
ن ربي العظيم وبحمده
5.
I’tidal
المسألة الثانية: ذهب أبو حنيفة إلى أن الاعتدال من الركوع، وفي الركوع، غير واجب وقال الشافعي: هو واجب واختلف أصحاب مالك هل ظاهر مذهبه يقتضي أن في ذلك.
المسألة الثانية: ذهب أبو حنيفة إلى أن الاعتدال من الركوع، وفي الركوع، غير واجب وقال الشافعي: هو واجب واختلف أصحاب مالك هل ظاهر مذهبه يقتضي أن في ذلك.
وقد صح عن النبي (ص)
أنه قال في الحديث المتقدم للرجل الذي علمه فروض الصلاة: اركع
حتى تطمئن راكعا،
وارفع حتى تطمئن رافعا فالواجب اعتقاد كونه فرضا[14]
Jadi, menurut madzab Hanafi i’tidal
hukumnya tidak wajib. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i hukumnya wajib. Ulama
Malikiyah berbeda pendapat mengenai hukum i’tidal, sebagian mengatakan wajib,
dan sebagian yang lain mengatakan sunah.
6.
Sujud
Sudah menjadi kesepakatan para ulama
bahwa sujud hendaknya dikerjakan pada tujuh anggota badan, yaitu: muka, kedua
tangan, kedua lutut, dan dua ujung telapak kaki. Kesepakatan ini berdasarkan
hadis:
اُمِرْتُ
ان اَسًجُدَ على سَبْعةِاعضاعٍ
Terjadi perbedaan pendapat ketika
seseorang bersujud dengan keningnya saja, atau ada salah satu anggota sujud
yang tidak sempurna, keadaan tersebut membatalkan shalat atau tidak. Menurut
Imam Maliki dan Imam Hanafi, apabila seseorang sujud dengan dahinya saja
(hidungnya tidak) maka diperbolehkan dan shalatnya tetap sah. Namun jika
sebaliknya, sujud dengan hidung sedang dahinya tidak, hal itu tidak dibolehkan.
[15]
Menurut Imam Syafi’i tidak boleh
sujud dengan salah satunya, berarti dahi dan hidung harus sama-sama menempel.
Hal ini karena pemahaman beliau dari hadis Nabi Muhammad SAW:
انه
انصرفَ مِن صلا ةٍ من الصلواتِ و على جَبهتهِ و اَنْفِهِ والماءُ
Bahwa Rasulullah menyelesaikan satu
shalat, sedang di kening dan hidungnya (menempel) tanah liat dan air. [16]
7.
Tahiyyat
Tahiyyat didalam shalat dibagi
menjadi dua: pertama, tahiyat yang terjadi setelah dua rakaat dalam
shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar yang tidak diakhiri dengan salam. Kedua,
tahiyat yang diakhiri dengan salam. [17]
Imamiyah dan Hanbali: tahiyat
pertama wajib. Sedangkan madzhab-madzhab lain mengatakan sunah. Untuk tahiyat
yang kedua menurut madzhab Syafi’i, Imamiyah, dan Hanbali hukumnya wajib.
Sedang menurut Maliki sunah.
8.
Mengucapkan
salam
Menurut Imam Syafi’i, Maliki,
Hanbali, dan sebagian kelompok Imamiyah
mengucapkan salam adalah wajib. Menurut madzhab Hanafi dan sebagian
kelompok Imamiyah mengucapkan salam
hukumnya sunah.
Bacaan
salam menurut empat madzhab:
السلا م عليكم ورحمة الله
Imam
Hanbali mewajibkan mengucapkan dua kali. Sedangkan yang lain mencukupkan satu
kali yang wajib.
Bacaan
salam menurut Imamiyah:
Pertama,
السلام علينا وعلى عبا دالله الصا لحين
Kedua,
السلا م عليكم ورحمة الله وبر كا ته
9.
Tertib
Dalam melaksanakan ibadah shalat
diwajibkan untuk tertib dari rukun satu ke rukun lain, yang dimulai dari
takbiratul ihram sampai dengan salam.
10.
Berturut-turut
Diwajibkan berturut-turut dan langsung antara bagian-bagian shalat.
Jadi , tidak boleh di sela-sela oleh pekerjaan lain.
IV.
KESIMPULAN
Telah kami uraiakan terkait definisi
shalat, syarat, rukun, dan kaifiyah shalat dalam pandangan madzahib. Sedikit
kami dapat memberi kesimpulan bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat urgen, yang
harus dilaksanakan bagi umat Islam dalam keadaan apapun. Melaksanakan syarat
dan rukun shalat adalah kunci keterimanya ibadah kita secara formalistik, namun
kita tidak boleh meninggalkan aspek substansi dan esensi dari diwajibkannya
shalat bagi kita.
Shalat yang dimulai dari takbiratul
ihram sampai dengan salam sebagaimana telah penulis uraikan dalam pembahasan,
hampir dari seluruh rukun-rukun tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam
penafsiran ulama madzhab. Baik dari eksistensi keberadaan rukun itu sendiri,
semisal i’tidal yang mana ulama Hanafi menghukumi tidak wajib, sedangkan ulama
yang lain mewajibkannya, maupun dari segi lafadz bacaan dalam aplikasi rukun
tersebut.
Begitu halnya rukun, syarat wajib
dan syarat sah shalat juga terdapat pemahan yang menghasilkan produk fiqih yang
beda pula. Disini menurut penulis syarat wajib shalat adalah segala sesuatu
yang menjadikan seseorang tersebut diwajibkan untuk menunaikan shalat, seperti
Islam, baligh, berakal. Ketika seseorang tidak beragama islam, tidak baigh dan
berakal maka orang itu tidak ada kewajiban untuk shalat. Sedangkan syarat sah
shalat adalah sesuatu yang menjadikan shalat yang dikerjakannya tersebut
menjadi sah, semisal menghadap kiblat, mengetahui masuknya waktu shalat,
menutup aurat, dan lain sebagainya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
tulis dan kami paparkan kepada para pembaca sekalian. Kami sadar dalam makalah
ini tentu masih banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan dalam
penulisan dan substansi pembahasan. Untuk itu, kami sangat membutuhkan dan
mengharapkan kritik saran dari pembaca sekalian. Kami ucapkan terimakasih atas
kesediaan pembaca untuk membaca makalah kami, mohon maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafan.
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu,
terj. Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani,2010), hlm.541
[3] Al-Jurjani, al-Takrifat hlm. 175
sebagaimana dikutip Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa,
(Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 25
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughni jil.2 hlm. 227
dikutip oleh Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, hlm.
25
[5] Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2 hlm. 281
sebagaimana dikutip Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa,
(Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 26
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,2010), jil. 1 hlm. 600
[7] Al-Dur al-Mukhtar, jilid 1 hlm. 380. Raddu
al-Mukhtar, jilid 3 hlm. 82 dikutip oleh Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat
& Angkasa, hlm. 30
[10] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid (Dar al Hadits – Kairo Mesir, 595
H), hlm. 80
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Madzhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991), hlm. 141
[12] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, hlm.642
[15] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, tejm.
M. Abdurrahman (Semarang: CV. Asy Syifa’,1990), hlm.288