Selasa, 31 Mei 2016

SHOLAT



ASH-SHALAH
I.            PENDAHULUAN
            Uraian tentang shalat baik dalam tulisan maupun lisan, bisa jadi dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang telah kadaluwarsa. Hal itu karena ibadah shalat merupakan sesuatu yang telah jelas, dan semua umat Islam telah mengetahui hukumnya. Shalat seakan menjadi pengetahuan yang agakanya bersifat aksioma.[1]
            Shalat merupakan ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi seluruh umat islam baik laki-laki maupun perempuan sebagai bukti penghambaan kepada sang Kholiq. Sebagai umat islam sejati perlulah kiranya kita mempelajari, memahami, dan melaksanakan ibadah yang sangat urgen ini. Namun, tidak sekedar melaksanakaan atau menunaikan, akan tetapi jauh dari pada itu, kita harus dapat menegakkan shalat. Disini dalam artian shalat tidak hanya seperti senam yoga yang sekedar mengandalkan gerakan-gerakan shalat, namun sebagai perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
            Perintah shalat telah jelas secara qoth’i dalam firman Allah surat Annur ayat 56. Namun perintah disitu masih bersifat global dalam pelaksanaannya. Didalam nash kita tidak mendapati uraian tata cara shalat secara detail. Sehingga kita mengambil dari sunah Rasulullah sebagai bayan al-nash.
            Sebagai orang awam bermadzhab adalah sebuah kebutuhan bagi kita, karena untuk memahami teks-teks yang ada dibutuhkan pemahaman ushul fiqih, fiqih, dan qawaidh fiqh secara komprehensif dan mendalam. Dibutuhkan seorang mujtahid yang benar-benar dapat menguasai seluruh bidang ilmu tersebut. Untuk itu untuk mempermudah kita dalam beribadah, perlulah kita bertaqlid kepada para ulama madzhab. Akan tetapi, sebagai kaum terpelajar hendaknya kita melek, tidak hanya bertaqlid buta, tetapi bertaqlid dengan mengetahui dasar dan metode isthinbat yang digunakan para mujtahid dalam menggali hukum.
            Dalam kesempatan ini, penulis akan memaparkan sedikit tentang fiqh ibadah terkhusus dalam tema shalat, rukun, syarat dan kaifiyahnya dalam pandangan para ulama madzhab. Memang kita sadari, dari sumber satu teks yang sama akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, secara otomatis produk hukumnya berbeda.
II.            RUMUSAN MASALAH
2.1 Apa syarat dan rukun shalat?
2.2 Bagaimana kayfiah shalat menurut para imam madzhab?
2.3 Apa perbedaan yang terjadi dalam takbiratul ihram?
III.            PEMBAHASAN
3.1    Definisi Shalat
       Shalat menurut etimologi adalah doa, atau doa meminta kebaikaan. Allah Swt berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
‘’ dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’ (QS. At-taubah:103).
       Maksud dari kata as-shalah disini adalah berdoa. Adapun menurut syara’ shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.[2] Sebagian madzhab Hanafi mendefinisikan shalat sebagai rangkain rukun yang dikhususkan dan dzikir yang ditetapkan dengan syarat-syarat tertentu dalam waktu yang telah ditentukan. [3] Sebagian ulama Hanbali memberikan ta’rif lain bahwa shalat adalah nama untuk sebuah aktifitas yang terdiri dari rangkaian berdiri, ruku dan sujud.[4]
3.2  Hukum dan Dalil Sholat
            Telah kita ketahui bersama bahwa ibadah sholat merupakan kewajiban bagi seluruh umat Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
‘’ Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.’’ (QS. An-nur:56)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
‘’ Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”(QS. Al-Baqarah:43)
وَأَنْ أَقِيمُوا الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
‘’ Dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa kepada-Nya." Dan Dialah Tuhan Yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.’’(QS. Al-An’am:72)
            Dari ayat-ayat diatas dapat disimpulkan ibadah shalat adalah ibadah yang sangat urgen. Begitu pentingnya posisi shalat dalam kehidupan manusia. Sehingga dalam satu riwayat Ishom bin Rawwad dikatakan, “sholat hukumnya wajib. Semua amal perbuatan manusia akan sia-sia kecuali prestasi shalat dan zakat terpenuhi.’’[5]
3.3  Syarat Wajib dan Sah Shalat
3.3.1        Syarat Wajib Shalat
1.      Islam
Menurut pendapat jumhur, sholat diwajibkan kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan, dalam hal ini orang kafir tidak wajib untuk menunaikan sholat. Menurut imam Hanafi bahwasannya orang kafir tersebut tidak terkena hukum-hukum Islam.[6] Jadi, ketika orang kafir tersebut masuk Islam dia tidak diwajibkan untuk menqada’sholat-sholat yang ditinggalkan selama dia masih kafir. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
‘’ Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.’’(QS. Al-Anfal:38)
     Dan juga berdasarkan hadits Nabi:
الاسلا مُ يُجبُّ ما قَبلهُ
‘’ (Dengan memeluk) Islam, (hal itu akan) menghapuskan apa (dosa-dosa) yang sebelumnya.(HR. Imam Ahmad. Ath-Thabarani, al-Baihaqi).’’
2.      Berakal
Salah satu syarat wajibnya shalat adalah berakal. Maka, seorang muslim yang gila tidak berkewajiban melaksanakan shalat, hal ini sesuai dengan sabda  Nabi: ‘’ hukum seseorang ditiadakan karena tiga perkara, yaitu orang yang tidur sampai ia terbangun, orang yang sedang gila sampai sembuhnya, dan anak kecil sampai dia dewasa (baligh). (HR. Halim & Abu Dawud). ‘’
Ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya akal karena mengkonsumsi obat-obatan.
Menurut imam Hanafi perlu ada perincian hilangnya akal karena proses alamiah atau karena ulah mereka sendiri. Jika hilangnya karena proses alamiah, misal gila atau pingsan maka dilihat waktunya. Jihal hal itu hanya terjadi dalam waktu sehari semalam, maka dia wajib menqadla’ shalat yang tertinggal karenanya, sebab dalam keadaan tersebut ia dihukumi tetap sadar. Akan tetapi jika lebih dari sehari semalam maka tidak ada kewajiban untuk menqadla’, karena hal itu tentu sangat menyulitkannya.
Kemudian apabila hilangnya akal karena ulah mukallaf sendiri, misalnya minum khamar, sabu-sabu, obat-obatan dan sejenisnya, wajib baginya mengqada’ shalat yang telah ditinggalkannya, sekalipun dalam jangka waktu yang lama. Namun, jika pengkonsumsian sabu-sabu dengan alasan pengobatan/terapi, maka gugurlah kewajiban qadla’shalat.
Senada dengan hukum tersebut, shalat yang tertinggal karena tidur juga diwajibkan untuk menqadha’. Karena pada umumnya orang tidur tidak melebihi sehari semalam, sehingga tidak terlalu memberatkan untuk menqadla’nya.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, bahwa hilangnya akal seseorang baik disebabkan gila atau pingsan dan sejenisnya, menjadi gugurnya kewajiban. Kecuali, udzur tersebut hilang dan masih ada waktu tersisa untuk bersuci serta menunaikan satu rakaat shalat. Namun jika waktu tidak mencukupi, maka gugurlah kewajiban tesebut.
Jika hilangnya akal disebabkan hal-hal maksiyat atau segala sesuatu yang diharamkan syara’maka wajib secara mutlak menqadla’shalat yang telah ditinggalkan. Lebih lanjut Imam Syafi’i orang yang lupa, tidur atau tidak tahu akan wajibnya shalat, tidak ada kewajiban menunaikan shalat, namun wajib mengqadla’ketika mengingatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:
‘’Barang siapa lupa atau tertidur maka kafaratnya adalah mengqadla’shalat ketika mereka mengingatnya.’’ (HR. Muslim).
Menurut madzhab Hanbali orang gila yang belum sadar tidak berkewajiban menunaikan shalat. Sebagaimana sabda Rasul:
’Hukum taklif seseorang dihilangkan karena tiga perkara....”
Adapun, mereka yang hilang akalnya karena sakit, pingsan, reaksi obat-obatan yang halal, tetap wajib baginya menunaikan shalat. Dengan qiyas hal-hal tersebut tidak menjadi faktor gugatan kewajiban puasa. Karena sahabat Ammar Ra pernah mengalami tiga hal tersebut. Dia bertanya, ‘’Apakah dia wajib menunaikan shalat?’’, para sahabat menjawab, ‘’ Kamu telah meninggalkan tiga shalat. Maka ambilah wudlu dan tunaikan tiga shalat yang kamu tinggalkan itu.’’
3.      Baligh
Tidak ada perselisihan pendapat terkait dengan baligh sebagai syarat wajib shalat. Jadi, shalat tidak wajib bagi anak kecil sampai dia baligh. Akan tetapi orang tua wajib mengajarinya dan memerintahkan menunanikan shalat ketika anak berusia tujuh tahun, dan berhak memukulnya ketika dia meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun (HR. Abu Dawud). Memukul disini menurut madzhab Hanafi cukup dengan tangan dan tidak boleh lebih dari tiga kali.[7] Menurut madzhab Maliki boleh memukul selain dengan tangan, misal tali dengan jumlah bilangan disesuaikan dengan fisik dan mental anak. 
3.3.2        Syarat Sah Shalat
1.      Mengetahui masuknya waktu sholat

Hal ini sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
‘’ Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.’’(QS. An-nisa: 103)
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
‘’Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).’’(QS. Al-Isra :78)
2.      Suci dari hadats.
Suci dari dua hadats besar dan kecil, baik dengan wudlu atau mandi merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
‘’ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.”(QS. Al-Maidah:6)
3.      Suci dari najis
Suci dari najis mempunyai pengertian sucinya badan, pakaian, dan tempat pelaksanaan prosesi shalat.[8] Sebagaimana firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
‘’ dan pakaianmu bersihkanlah.’’ (QS. Al-mudatsir: 4)
4.      Menutup aurat
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
‘’Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.’’ (QS. Al-A’raf:31)
Ayat tersebut memakai kata zinah yang berarti perhiasan. Ibnu Abbas memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud perhiasan diatas adalah pakaian. Kemudian maksud masjid disini adalah shalat. Maka, arti bebas dari ayat tersebut adalah tutuplah aurat ketika hendak menunaikan shalat.
Menurut madzhab Hanafi batasan aurat laki-laki dan perempuan adalah:
1.      Aurat laki-laki: mulai dari pusar sampai dengan baawah lutut. Lutut seorang laki-laki termasuk aurat.
2.      Aurat perempuan: semua bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki. Tapi, pendapat yang shahih kedua telapak kaki termasuk aurat.
Terbukanya seperempat aurat menurut madzhab Hanafi akan membatalkan shalat, karena seperempat bagian sama halnya membuka seluruh bagian. Jadi, jika aurat terbuka kurang dari seperempat tidak membatalkan sholat.
Menurut madzhab Maliki:
1.      Aurat laki-laki: dua alat vital (qubul dan dubur) saja. Paha laki-laki tidak termasuk aurat. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat hadits:
‘’ ketika perang khaibar, sarung Rasulullah tersingkap, sehingga saya bisa melihat paha putihnya dengan jelas.’’ (HR. Bukhari).
2.      Aurat perempuan: semua anggota tubuh kecuali dada, kepala, kedua telapak tangan dan telapak kaki serta punggung.[9]
Madzhab Syafi’i dan Hanbali:
1.      Aurat laki-laki: aurat laki-laki ketika shalat dan thawaf serta keadaan laki-laki di depan perempuan adalah antara pusar dan lutut. Namun menurut Imam Hanbali lutut dan pusar merupakan batasan, jadi tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.
2.      Aurat perempuan: seluruh wajah dan kedua telapak tangan baik bagian dalam atau luarnya, mulai dari pergelangan sampai ujung jari-jarinya.
5.      Menghadap kiblat.
                      Para fuqaha sepakat untuk mengatakan menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat.[10] Ini berdasarkan firman Allah:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
‘’Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.‘’
3.4  Rukun dan Kaifiyah Shalat
1.      Niat
Ulama berbeda pendapat terkait niat menjadi rukun dalam shalat. Menurut ulama syi’ah Imamiyah yaitu Sayyid Muhammad, niat merupakan perbuatan pertama dalam shalat. Orang yang mengucapakan kata niat bertujuan untuk melakukan perbuatan tertentu dalam rangka mematuhi perintah Allah.[11]
            Menurut madzhab Maliki, Hanbali, dan Hanafi niat adalah salah satu syarat shalat. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i niat merupakan rukun dari shalat.[12] Hemat penulis, ketiga madzhab yang mengatakan niat sebagai syarat, menurut pemahaman kami hal tersebut tidak harus di lafadzkan ketika mengerjakan shalat, cukup dengan batasan baligh dan berakal maka ia secara otomatis menyengaja untuk shalat. Sedangkan ulama Syafií yang mengatakan niat sebagai rukun maka niat harus diucapkan sekalipun dalam hati bersamaan takbiratul ihram.
2.      Takbiratul Ihram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram berasal dari sabda Rasulullah: “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkan segala perbuatan, kecuali perbuatan atau gerakan shalat adalah takbir.
Menurut madzhab Maliki dan Hanbali shighat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar”dan tidak boleh memakai kata-kata selainnya. Menurut Imam Syafi’i boleh mengganti “Allah Akbar” dengan Allahu al Akbar  (ditambah dengan alif dan lam pada kata Akbar). Sedangkan Imam Hanafi: boleh dengan kata-kata lain yang artinya sesuai atau sama dengan sighat tersebut. Semisal, Allah al A’dzam dan Allahhu al Ajall (Allah Yang Maha Agung, dan Allah Yang Maha Mulya). [13]
3.      Membaca Basmalah dan surat Fatihah.
4.      Ruku’
Semua ulama madzhab sepakat bahwa ruku’ termasuk rukun dalam shalat. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait batasan yang diwajibkan dan berthuma’ninah didalamnya.
Pendapat Imam Hanafi, yang diwajibkan hanya membungkukkan badan secara lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Menurut madzhab yang lain, wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat diletakkan pada lutut, dan diwajibkan thuma’ninah.
Imam Syafi’i, Hanafi, dan Maliki: tidak wajib berdzikir ketika ruku’dalam shalat, hanya disunahkan mengucapkan:
سبحا ن ربي العظيم
Menurut Imamiyah dan madzhab Hanbali: membaca tasbih ketika ruku’hukumnya wajib. Lafadz ruku’menurut Hanbali”:
سبحا ن ربي العظيم
Sedangkan menurut Imamiyah:
سبحا ن ربي العظيم وبحمده
5.     I’tidal
المسألة الثانية: ذهب أبو حنيفة إلى أن الاعتدال من الركوع، وفي الركوع، غير واجب وقال الشافعي: هو واجب واختلف أصحاب مالك هل ظاهر مذهبه يقتضي أن في ذلك.
وقد صح عن النبي (ص) أنه قال في الحديث المتقدم للرجل الذي علمه فروض الصلاة: اركع
حتى تطمئن راكعا، وارفع حتى تطمئن رافعا فالواجب اعتقاد كونه فرضا[14]
Jadi, menurut madzab Hanafi i’tidal hukumnya tidak wajib. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i hukumnya wajib. Ulama Malikiyah berbeda pendapat mengenai hukum i’tidal, sebagian mengatakan wajib, dan sebagian yang lain mengatakan sunah.
6.      Sujud
Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa sujud hendaknya dikerjakan pada tujuh anggota badan, yaitu: muka, kedua tangan, kedua lutut, dan dua ujung telapak kaki. Kesepakatan ini berdasarkan hadis:
اُمِرْتُ ان اَسًجُدَ على سَبْعةِاعضاعٍ
Terjadi perbedaan pendapat ketika seseorang bersujud dengan keningnya saja, atau ada salah satu anggota sujud yang tidak sempurna, keadaan tersebut membatalkan shalat atau tidak. Menurut Imam Maliki dan Imam Hanafi, apabila seseorang sujud dengan dahinya saja (hidungnya tidak) maka diperbolehkan dan shalatnya tetap sah. Namun jika sebaliknya, sujud dengan hidung sedang dahinya tidak, hal itu tidak dibolehkan. [15]
Menurut Imam Syafi’i tidak boleh sujud dengan salah satunya, berarti dahi dan hidung harus sama-sama menempel. Hal ini karena pemahaman beliau dari hadis Nabi Muhammad SAW:
انه انصرفَ مِن صلا ةٍ من الصلواتِ و على جَبهتهِ و اَنْفِهِ والماءُ
Bahwa Rasulullah menyelesaikan satu shalat, sedang di kening dan hidungnya (menempel) tanah liat dan air. [16]
7.      Tahiyyat
Tahiyyat didalam shalat dibagi menjadi dua: pertama, tahiyat yang terjadi setelah dua rakaat dalam shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar yang tidak diakhiri dengan salam. Kedua, tahiyat yang diakhiri dengan salam. [17]
Imamiyah dan Hanbali: tahiyat pertama wajib. Sedangkan madzhab-madzhab lain mengatakan sunah. Untuk tahiyat yang kedua menurut madzhab Syafi’i, Imamiyah, dan Hanbali hukumnya wajib. Sedang menurut Maliki sunah.
8.      Mengucapkan salam
Menurut Imam Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan sebagian kelompok Imamiyah  mengucapkan salam adalah wajib. Menurut madzhab Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah  mengucapkan salam hukumnya sunah.
Bacaan salam menurut empat madzhab:
السلا م عليكم ورحمة الله
Imam Hanbali mewajibkan mengucapkan dua kali. Sedangkan yang lain mencukupkan satu kali yang wajib.
Bacaan salam menurut Imamiyah:
Pertama,
السلام علينا وعلى عبا دالله الصا لحين
Kedua,
السلا م عليكم ورحمة الله وبر كا ته
9.      Tertib
Dalam melaksanakan ibadah shalat diwajibkan untuk tertib dari rukun satu ke rukun lain, yang dimulai dari takbiratul ihram sampai dengan salam.
10.  Berturut-turut
Diwajibkan berturut-turut dan langsung antara bagian-bagian shalat. Jadi , tidak boleh di sela-sela oleh pekerjaan lain.
 IV.            KESIMPULAN
Telah kami uraiakan terkait definisi shalat, syarat, rukun, dan kaifiyah shalat dalam pandangan madzahib. Sedikit kami dapat memberi kesimpulan bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat urgen, yang harus dilaksanakan bagi umat Islam dalam keadaan apapun. Melaksanakan syarat dan rukun shalat adalah kunci keterimanya ibadah kita secara formalistik, namun kita tidak boleh meninggalkan aspek substansi dan esensi dari diwajibkannya shalat bagi kita.
Shalat yang dimulai dari takbiratul ihram sampai dengan salam sebagaimana telah penulis uraikan dalam pembahasan, hampir dari seluruh rukun-rukun tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran ulama madzhab. Baik dari eksistensi keberadaan rukun itu sendiri, semisal i’tidal yang mana ulama Hanafi menghukumi tidak wajib, sedangkan ulama yang lain mewajibkannya, maupun dari segi lafadz bacaan dalam aplikasi rukun tersebut.
Begitu halnya rukun, syarat wajib dan syarat sah shalat juga terdapat pemahan yang menghasilkan produk fiqih yang beda pula. Disini menurut penulis syarat wajib shalat adalah segala sesuatu yang menjadikan seseorang tersebut diwajibkan untuk menunaikan shalat, seperti Islam, baligh, berakal. Ketika seseorang tidak beragama islam, tidak baigh dan berakal maka orang itu tidak ada kewajiban untuk shalat. Sedangkan syarat sah shalat adalah sesuatu yang menjadikan shalat yang dikerjakannya tersebut menjadi sah, semisal menghadap kiblat, mengetahui masuknya waktu shalat, menutup aurat, dan lain sebagainya.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami tulis dan kami paparkan kepada para pembaca sekalian. Kami sadar dalam makalah ini tentu masih banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan dalam penulisan dan substansi pembahasan. Untuk itu, kami sangat membutuhkan dan mengharapkan kritik saran dari pembaca sekalian. Kami ucapkan terimakasih atas kesediaan pembaca untuk membaca makalah kami, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.








[1]  Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, (Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 10

[2]  Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani,2010), hlm.541
[3]  Al-Jurjani, al-Takrifat hlm. 175 sebagaimana dikutip Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, (Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 25
[4]  Ibnu Qudamah, al-Mughni jil.2 hlm. 227 dikutip oleh Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, hlm. 25
[5]  Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2 hlm. 281 sebagaimana dikutip Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, (Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 26
[6]  Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,2010), jil. 1 hlm. 600
[7]  Al-Dur al-Mukhtar, jilid 1 hlm. 380. Raddu al-Mukhtar, jilid 3 hlm. 82 dikutip oleh Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, hlm. 30
[8]  Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, hlm. 35

[9]  Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat & Angkasa, hlm. 47

[10]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid (Dar al Hadits – Kairo Mesir, 595 H), hlm. 80
[11]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Basrie Press, 1991), hlm. 141

[12]  Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu terj. Abdul Hayyie al-Kattani, hlm.642
[13]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, hlm. 142
[14]  Maktabah Syamilah, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid , juz 1 hlm. 110
[15]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, tejm. M. Abdurrahman (Semarang: CV. Asy Syifa’,1990), hlm.288
[16]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, tejm. M. Abdurrahman (Semarang: CV. Asy Syifa’,1990), hlm.289

[17]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, hlm. 151